Mengembangkan sektor MICE, Manado memilih untuk memperkuat imej sebagai destinasi bahari di saat Makassar harus berjuang keluar dari masa stagnan.
Ketika Manado ditunjuk sebagai tuan rumah World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit pada 11-15 Mei 2009, mata dunia tertuju pada Sulawesi Utara. Setidaknya, 121 negara dari seluruh dunia berkumpul di Manado, termasuk lima anggota coral triangle: Filipina, Kepulauan Salomon, Timor Leste, Papua Nugini, dan Malaysia.
Event itu sukses memacu degup industri MICE yang ditopang oleh 11 mega proyek infrastruktur yang diprediksi menelan investasi hingga Rp1,08 triliun. Ke-11 proyek itu di antaranya pembangunan jalan tol sepanjang 39 kilometer yang menghubungkan Manado dan Bitung dan pengembangan tiga pelabuhan: Pelabuhan Tahuna, Kepulauan Sangihe; Pelabuhan Bitung, Kota Bitung; dan Pelabuhan Lirung, Kepulauan Talaud.
Fasilitas pelabuhan udara juga tidak luput dari perhatian. Sebut saja perpanjangan landasan pacu Bandara Internasional Sam Ratulangi, pengembangan Bandara Miangas di Kepulauan Talaud, dan perampungan Bandara Pihise di Kepulauan Sitaro.
Tazbir Abdullah, Asisten Deputi Bisnis dan Pemerintah Kementerian Pariwisata, mengatakan, Manado terbilang siap menjadi destinasi MICE. Untuk venue, kota seluas 157,3 kilometer persegi itu memiliki dua pusat konvensi raksasa, yaitu Manado Convention Center (MCC) dengan kapasitas 7.000 orang dan International Convention Center berdaya tampung 2.500 orang. “Itu belum termasuk ballroom dan meeting room yang disediakan hotel. Hingga tahun 2013, Manado memiliki 17 hotel berbintang dengan total 1.880 kamar,” katanya.
Selain itu, Sulut diuntungkan dengan imej Manado yang lekat sebagai destinasi wisata bahari. Hal itu, menurut Tazbir, dapat digunakan untuk memperkuat branding Manado sebagai kota MICE. “Apalagi kami sudah teruji melalui perhelatan sejumlah event bahari berskala internasional yang ke depannya akan menjadi fokus kegiatan MICE di Manado,” tuturnya.
Di lain pihak, Ika Sastrosoebroto, Direktur Pemasaran dan Promosi Badan Pariwisata Sulawesi Utara, mengungkapkan, Manado dapat memanfaatkan posisinya sebagai basis Coral Triangle Initiative (CTI). “Pada November 2015, ada pertemuan khusus pejabat senior Coral Triangle Initiative for Corals, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari enam negara anggota CTI, ditambah Amerika Serikat dan Australia,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Manado, sektor MICE Makassar juga mulai bergeliat dalam lima tahun terakhir. Anggiat Sinaga, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan, mengatakan, tren tersebut ditopang oleh kesiapan infrastruktur, mulai dari hotel, pusat konvensi, bandara, jalan tol, hingga hotel.
Di lini konektivitas, Provinsi Sulsel dilayani oleh Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang awal tahun 2015 memulai ekspansi dengan investasi senilai Rp2,4 triliun. Dari kapasitas 7,5 juta penumpang per tahun, rencananya bandara ini akan dikembangkan menjadi 25 juta penumpang per tahun. Sepanjang 2014, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin melayani 9,6 juta penumpang dan bertumbuh 17 persen menjadi 11,2 juta orang pada tahun 2015.
Untuk venue berkapasitas besar, Sulsel disokong oleh Celebes Convention Center (CCC) dengan daya tampung mencapai 5.000 orang. Kebutuhan akan venue berkapasitas besar, menurut Anggiat, turut ditopang oleh sektor perhotelan melalui ballroom.
Sebut saja Grand Clarion Hotel & Convention yang memiliki ballroom berkapasitas total 5.000 orang dan Sahid Makassar sebanyak 1.000 orang. “Makassar memiliki 80 hotel dengan ketersediaan 4.235 kamar. Selama lima tahun terakhir, kami mencatat tingkat hunian hotel didominasi oleh tamu MICE yang disumbang oleh pasar government,” katanya.
Namun, Jeffrey Eugene T., Sekretaris Asosiasi Perusahaan Pemeran Indonesia (Asperapi) Sulsel, menilai, industri pameran Makassar memasuki masa stagnan dalam lima tahun terakhir. Asperapi mencatat, sepanjang semester I 2015, Makassar hanya menggelar dua-tiga pameran besar. Itu pun didominasi oleh tiga event organizer (EO) besar, seperti Debindo, Tiga Pro, dan Dyandra.
“Permasalahannya, Sulsel itu belum memiliki event tetap dan dijalankan tiap tahun. Peran EO juga hanya sebatas pelaksana di mana mereka tidak menciptakan event. Ini tentu menjadi tantangan bagi EO untuk berpikir kreatif dalam menciptakan event,” katanya.
Jeffrey menegaskan, untuk dapat menggerakkan industri MICE di masa depan, Makassar memerlukan venue berkapasitas lega. “Saat ini, Makassar hanya bergantung pada CCC. Itu pun tidak dikelola secara profesional karena minimnya networking pengelola venue dengan EO nasional maupun internasional sehingga event yang digelar tidak beragam. Jadi, Makassar mutlak memerlukan venue baru,” tuturnya.
KOMENTAR
0